Artikel tentang pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi akan dijabarkan dengan mengupas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XIV/2016. Putusan tersebut dipilih karena dianggap relevan, meskipun amar putusannya memutuskan tentang kedudukan hukum Pemohon, tetapi pertimbangannya juga berisi pendapat Mahkamah Konstitusi tentang pelaksanaan dari Putusan Mahkamah Konstitusi.

Pemohon dalam perkara a quo mengajukan pengujian konstitusionalitas Pasal 10 ayat (1), Pasal 47 UU MK, Pasal 29 ayat (1) UU 48/2009, dan Pasal 7 ayat (2) huruf l UU 30/2014, yang menurut Pemohon bertentangan UUD 1945 dengan alasan-alasan yang pada pokoknya sebagai berikut:

  1. Ketentuan Pasal 10 ayat (1) UU MK dan Pasal 29 ayat (1) UU 48/2009 tidak cukup karena tidak memberikan kewajiban kepada pihak manapun untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht);
  2. Kewajiban melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi harus tercantum secara langsung dalam pasal-pasal yang berkaitan dengan kekuatan mengikat Putusan Mahkamah Konstitusi.
  3. Pasal 47 UU MK mengandung ambiguitas, utamanya terhadap kewajiban untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi, sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi cenderung diabaikan oleh karenanya harus ada norma yang secara tegas mewajibkan semua pihak mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi;

Terhadap permohonan pengujian konstitusionalitas pasal-pasal tersebut di atas, Mahkamah Konstitusi berpendapat sebagai berikut:

  • Bahwa putusan pengadilan adalah akhir dari proses persidangan dalam menyelesaikan perkara, oleh karenanya putusan harus dihormati dan dilaksanakan. Adapun pengabaian terhadap putusan pengadilan dapat dikatakan pengingkaran terhadap bangunan negara hukum. Bahkan dalam konteks putusan Mahkamah Konstitusi, maka pengabaian terhadap putusan tersebut mengakibatkan upaya pemulihan hak-hak konstitusional warga negara menjadi terabaikan. Pengertian “final” yang terdapat dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) UU MK adalah putusan Mahkamah langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh, dan terdapat juga kekuatan hukum mengikat (final and binding).
  • Putusan Mahkamah Konstitusi dalam pengujian undang-undang adalah bersifat declaratoir-constitutief, yang artinya putusan tersebut hanya mendeklarasikan suatu norma bertentangan atau tidak dengan konstitusi (Undang-Undang Dasar). Pada saat yang sama, putusan pengujian Undang-Undang sesungguhnya juga mengandung sifat konstitutif karena dalam putusan tersebut terdapat peniadaan suatu keadaan hukum atau membentuk keadaan hukum baru dalam kapasitas Mahkamah Konstitusi sebagai negative-legislator;
  • Oleh karena putusan pengujian undang-undang bersifat declaratoir-constitutief, pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi tidak membutuhkan aparat yang akan memaksa agar putusan tersebut dilaksanakan atau dipatuhi. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, kesadaran dan kepatuhan hukum semua pihak untuk melaksanakan putusan pengadilan menjadi cerminan menghormati prinsip negara hukum dalam kehidupan bernegara;
  • Selanjutnya timbul pertanyaan bagaimana jika putusan tersebut tidak dipatuhi oleh pihak-pihak tertentu? Apabila norma Undang-Undang yang telah dinyatakan tidak berlaku tetap digunakan sebagai dasar keputusan atau tindakan, maka hal tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan atau perbuatan melawan hukum. Bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan akibat keputusan atau tindakan seperti itu, ia dapat menempuh upaya hukum melalui badan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung;

Kesimpulan

Dalam pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 105/PUU-XIV/2016, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa putusan Mahkamah Konstitusi adalah bersifat final dan mengikat. Putusan pengujian undang-undang bersifat declaratoir-constitutief yang tidak membutuhkan aparat yang memaksa agar putusan tersebut dilaksanakan. Adapun jika putusan tidak dipatuhi oleh pihak-pihak tertentu maka perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum sehingga bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat menempuh upaya hukum melalui badan peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung.

——————————–

Baca juga artikel lainnya:

Yurisprudensi Berkaitan Dengan Konversi Mata Uang Asing

Kriteria Yurisprudensi Tetap

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Mengupas SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 4 Tahun 2021 tentang Penerapan Beberapa Ketentuan Dalam Penanganan Tindak Pidana Di Bidang Perpajakan

Makna Lambang / Tanda Jabatan Hakim

(BUKU) Dimensi Moralitas Hakim yang Religius dan Islami

(BUKU) Apa Yang Harus Ditanyakan Kepada Ahli Digital Forensics? (Panduan Bagi Praktisi Hukum)

Blockchain dan Permasalahan Hukum

Bagaimana Millennials Dapat Merubah Praktik Hukum?

Pancasila Sebagai Dasar Moralitas Putusan Hakim

Contact Me:

E-mail: rizky.auliacahyadri@gmail.com

Instagram: https://www.instagram.com/rizkyauliacahyadri/

Pelaksanaan Putusan Mahkamah Konstitusi

Rizky Aulia Cahyadri

Rizky Aulia Cahyadri, S.H., lahir di Banyumas, pada tanggal 7 Juni 1995, saat ini berkarya dan mengabdikan diri sebagai Hakim pada Pengadilan Negeri Sangatta. Memiliki passion dalam bidang hukum serta pendidikan. Website www.rizkyauliacahyadri.com adalah sebuah media yang didedikasikan untuk berbagi seputar pembahasan tentang bidang hukum dan peradilan dalam bahasa yang ringan serta sesuai dengan konteks.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *