Profesi Hakim tidak hanya menuntut intelektualitas hukum dan keahlian teknis peradilan yang tinggi bagi orang-orang yang mengembannya, tetapi menuntut juga integritas moral yang tinggi. Adalah suatu keniscayaan bahwa profesi Hakim merupakan salah satu profesi yang rawan dengan berbagai macam tekanan, antara lain tekanan ekonomi, tekanan politik, atau juga bujuk rayu dan godaan nikmat keduniawiaan yang menjebak. Dalam konteks tersebut, maka dibutuhkan adanya suatu landasan moralitas yang kuat yang akan membentengi pribadi para Hakim dari tindakan-tindakan yang tidak terhormat, tindakan tercela dan tindakan yang tidak patut.

Hakim adalah orang yang memutuskan suatu perkara, dengan putusannya dapat merenggut kebebasan seseorang, memisahkan seorang Ayah dari keluarganya, menciptakan serta meniadakan suatu keadaan hukum, atau bahkan dapat mengambil nyawa seseorang dalam hal menjatuhkan hukuman mati. Mengingat pada kekuasaan dan wewenang yang besar dari Hakim, maka seorang Hakim harus secara jelas, objektif dan terang dalam memeriksa perkara. Putusan yang diharapkan serta diidam-idamkan oleh masyarakat tidak hanya putusan yang memberikan kepastian hukum tetapi juga memberikan keadilan. Pribadi seorang Hakim haruslah pribadi yang tidak memiliki cela, jujur, adil, berintegritas, selain daripada atribut keilmuan dan teknis hukum yang dimilikinya.

Landasan moralitas yang kuat akan bertindak sebagi pemandu, pemberi orientasi dalam berpikir dan bertindak untuk dapat mencapai tujuan hakiki bagi seseorang yang berprofesi sebagai Hakim yaitu untuk mewujudkan keadilan. Dalam ayat 56 Q.S. Az-Zariyat, Allah Swt. berfirman “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”. Berdasarkan ayat tersebut, hendaknya setiap tindak laku manusia haruslah diniatkan sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah Swt. dan untuk mengingat kebesaran Allah Swt. termasuk juga harus ditanamkan dalam hati seorang Hakim dalam melaksanakan tugas dan jabatannya. Terlebih bahwa profesi Hakim adalah profesi yang senantiasa mengikrarkan nama Tuhan dalam setiap irah-irah putusannya, yang mengandung arti bahwa seseorang tidak dapat menjadi Hakim yang baik jika nilai-nilai religius dan spiritual tidak melekat dalam jiwanya. Kalimat ikrar kepada Tuhan dari seorang Hakim dalam putusannya membawa konsekuensi bahwa pada hari akhir nanti, para Hakim sebagai pengadil di dunia akan diadili pula oleh Sang Pencipta, Pemilik Hari Akhir, dan Yang Maha Adil, yaitu Allah Swt.

Buku yang berada di tangan pembaca ini menyajikan pembahasan atas konsep dimensi moralitas Hakim yang religius dan Islami, sebagai upaya untuk melakukan telaah tentang hakekat profesi Hakim sebagai pengemban amanah dari Allah Swt. untuk menegakkan keadilan. Tujuan utama yang terkandung dalam buku ini adalah untuk memberikan pandangan guna membentuk “Hakim yang Religius dan Islami” yaitu Hakim yang bernafaskan ajaran Islam, serta bebas dan mandiri dari segala bentuk pengaruh hawa nafsu keduniawian.

———————————————————————————————

Buku dengan judul “Apa Yang Harus Ditanyakan Kepada Ahli Digital Forensics? (Panduan Bagi Praktisi Hukum)” tersedia dalam versi cetak dan versi e-book di platform digital kesayangan anda (penerbitbukudeepublish.com, Gramedia Digital dan Google Book Store)

Tertarik membeli buku ini? Silahkan klik tautan dibawah ini

Penerbit Buku Deepublish

Gramedia Digital

Google Book Store

(BUKU) Dimensi Moralitas Hakim yang Religius dan Islami

Rizky Aulia Cahyadri

Rizky Aulia Cahyadri, S.H., lahir di Banyumas, pada tanggal 7 Juni 1995, saat ini berkarya dan mengabdikan diri sebagai Hakim pada Pengadilan Negeri Sangatta. Memiliki passion dalam bidang hukum serta pendidikan. Website www.rizkyauliacahyadri.com adalah sebuah media yang didedikasikan untuk berbagi seputar pembahasan tentang bidang hukum dan peradilan dalam bahasa yang ringan serta sesuai dengan konteks.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *